
Menjadi jurnalis kampus bukan hanya soal menulis dan menyuarakan berita. Di balik setiap berita yang diterbitkan, ada tekanan yang nyaris tak terlihat namun nyata dirasakan. Pers Mahasiswa (Persma) Samudera USI membuktikan bahwa menyuarakan kebenaran tak semudah menuliskannya di atas kertas.
Daniel Denoris Gulo, Pemimpin Umum UKM Pers dan Sastra Samudera USI, mengungkapkan bahwa bentuk tekanan pertama yang mereka alami datang dalam bentuk yang tersamar.
“Kalau ada berita yang agak kritis terhadap kampus, langsung muncul tekanan. Tidak langsung, tapi lewat orang lain, dan kami tahu itu cara mereka untuk membuat kami diam,” ungkapnya tegas.
Sebagai Pemimpin umum, Daniel menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan hanya menjaga jalannya organisasi, tapi juga melindungi anggotanya dari tekanan yang kerap datang, terutama dari dalam kampus sendiri. Bentuk tekanan seperti ini bukan hal baru bagi mereka.
“Awalnya kayak diajak diskusi biasa. Tapi di tengah-tengah diskusi itu, mereka berkumpul dan malah menjatuhkan mental salah satu dari kami,” ujarnya.
Meski begitu, mereka tak pernah gentar dalam menghadapi tekanan yang datang silih berganti. UKM Pers dan Sastra Samudera USI memilih tetap berdiri pada prinsip etika jurnalistik bahwa kebenaran dan fakta selalu berpihak kepada mereka.
“Ya kalau saya pribadi, santai aja, karena kita nulis berdasarkan fakta, bukan hoaks,” tuturnya.
“Selama kita pegang fakta, ya harusnya ga perlu takut,” tambahnya.
Etika jurnalistik menjadi kekuatan utama bagi mereka dalam menyuarakan isu isu yang ada, karena tekanan bukan alasan neraka berhenti menyuarakan kebenaran, justru menjadi ujian apakah mereka benar-benar layak disebut jurnalis.
“Kita harus pegang prinsip bahwa fakta tidak boleh dibungkam oleh siapapun dan pihak manapun. Kalau kita berhenti karena intimidasi, lalu siapa yang akan bicara soal kebenaran?” ujarnya lagi.
Ia juga menambahkan bahwa satu-satunya bekal utama yang harus dimiliki Persma adalah mental baja.
“Tidak ada strategi khusus sih, ya cuma tahan mental. Persma itu harus punya mental beda dari mahasiswa lain. Di luar sana, pers bisa sampai diteror tapi tetap jalan. Masa kita kalah sama tekanan begini?,” katanya meyakinkan.
Terlebih, mereka sudah melalui pelatihan mental sebelum resmi bergabung dalam organisasi pers mahasiswa. Menurutnya, hal itu seharusnya cukup untuk membekali diri menghadapi tekanan.
“Lingkup kita kecil, tapi tekanannya nyata. Apalagi kita hidup di lingkungan mahasiswa, yang seharusnya bisa menerima kritik. Tapi nyatanya, Persma sering dianggap ancaman saat menyampaikan kebenaran,” kata Daniel.
Walau kerap diterpa badai, semangat Persma USI tak pernah padam. Meski berada ditengah tekanan, mereka terus berdiri, karena mereka percaya bahwa suara kebenaran tak boleh diredam.
Reporter: Yessy dan Mai