Kebijakan Magang Maksimal Satu Tahun bagi Fresh Graduate Perlu Diiringi Reformasi Ketenagakerjaan

Rencana penerapan kebijakan magang maksimal satu tahun bagi fresh graduate mendapat sorotan dari Yudha Saragih, S.H., M.H. Menurutnya, kebijakan tersebut memiliki dua sisi pandang yang perlu dikaji lebih dalam, baik dari perspektif pemerintah maupun dunia usaha.

Dalam wawancaranya, Yudha menjelaskan bahwa pemerintah saat ini masih membatasi usia penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) maksimal 35 tahun. Padahal, usia produktif manusia sesungguhnya berada pada rentang 35 hingga 45 tahun. Kondisi ini, kata Yudha, membuat peluang kerja bagi masyarakat usia produktif menjadi semakin terbatas. Akibatnya, perusahaan swasta baik lokal maupun asing menjadi tumpuan utama dalam penyediaan lapangan kerja.

“Pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada penerimaan pendapatan melalui izin usaha, tetapi juga harus memikirkan kesejahteraan rakyat dan perluasan lapangan pekerjaan,” ujarnya.

Ia menambahkan, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja telah mengatur bahwa setiap perusahaan atau kelompok usaha yang membuka lapangan kerja wajib memprioritaskan minimal 20 persen tenaga kerja dari masyarakat setempat.

Namun demikian, Yudha menilai bahwa tekanan dan beban berlebihan terhadap perusahaan justru bisa berdampak buruk bagi dunia usaha.

“Kalau terlalu banyak aturan dan tekanan, siapa yang mau usahanya bangkrut? Belum sempat menghasilkan, sudah harus tutup,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah perlu menyeimbangkan antara perlindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha agar iklim bisnis tetap stabil.

Lebih lanjut, Yudha menyinggung bahwa tekanan keuangan pemerintah, salah satunya terkait klaim BPJS Ketenagakerjaan, turut menjadi faktor munculnya wacana kebijakan tersebut. Ia mencontohkan, masih banyak kasus kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya dapat diklaim ke BPJS karena dianggap menjadi tanggung jawab perusahaan.

Dari sudut pandang internasional, Yudha menyoroti persoalan lain, yakni ketimpangan antara tuntutan gaji dan produktivitas tenaga kerja Indonesia.

“Banyak pekerja menuntut gaji tinggi, tapi hasil kerjanya belum tentu sebanding. Pengusaha tentu menargetkan efisiensi dan hasil. Kalau pengeluaran tinggi tapi produktivitas rendah, itu jadi beban,” jelasnya.

Ia juga menilai bahwa perusahaan yang menerima fresh graduate sejatinya memiliki niat baik untuk memberikan pengalaman kerja pertama bagi lulusan baru. Namun, banyaknya aturan dan beban administrasi sering kali membuat investor enggan menanamkan modal, sehingga peluang kerja justru semakin terbatas.

Sebagai pembanding, Yudha menyinggung sistem perizinan usaha di Malaysia yang dinilai lebih efisien. Di negara tersebut, biaya izin baru dikeluarkan setelah usaha berjalan, sementara di Indonesia, pengusaha harus menanggung biaya dan pemeriksaan administratif sebelum izin keluar.

“Ketika modal sudah habis untuk urusan izin dan administrasi, bagaimana mau berkembang? Akhirnya, banyak usaha yang stagnan bahkan tutup,” katanya.

Menutup pernyataannya, Yudha menegaskan bahwa kebijakan magang maksimal satu tahun bagi fresh graduate hanya akan efektif jika diiringi reformasi sistem ketenagakerjaan dan perizinan usaha yang lebih realistis serta berpihak pada keseimbangan antara kepentingan tenaga kerja dan pengusaha.

“Jika keseimbangan itu tercapai, barulah iklim kerja dan investasi di Indonesia bisa tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Reporter: Yessi
Sumber gambar: Campuspedia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Hubungi Tim Samudera, agar segera meliput!
Halo sobat Samudera....