Edit with Elementor
Loading

ELSAM sebagai lembaga studi dan advokasi masyarakat, meminta pemerintah segera mengevaluasi kesepakatan AS dan Indonesia karena menempatkan Indonesia dalam posisi yang tidak menguntungkan terutama karena terdapat potensi merugikan hak atas privasi warga negara.
Adanya kabar bahwa dalam perjanjian perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) termasuk adanya pemberian data pribadi penduduk Indonesia untuk dikelola pemerintah AS menjadi perhatian masyarakat. Sebab ada kekhawatiran data pribadi itu akan disalahgunakan untuk kepentingan negara tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat beberapa masalah besar dalam kesepakatan tersebut.
Pertama, perjanjian antara AS dan Indonesia terjadi secara timpang. Kesepakatan ini tidak berporos pada pelindungan subjek data namun malah menekankan kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan di bawah yurisdiksi AS yang bergerak di bidang penyimpanan data.
Kedua, ancaman pemantauan massal (mass surveillance) oleh AS terhadap warga Indonesia. Pasal 702 dari Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing (FISA) memberikan kewenangan kepada pemerintah AS untuk mengakses komunikasi pihak asing yang berada di luar yurisdiksi teritorial AS.
Menurut ELSAM, kebijakan ini memicu diskursus kritis terkait mekanisme pengumpulan dan penyimpanan data yang berlangsung melalui infrastruktur digital yang berbasis di wilayah AS.
“Pemerintah AS menyatakan bahwa mereka memiliki legitimasi hukum untuk mengakses informasi yang tersimpan di server domestik apabila informasi tersebut berkaitan dengan target asing,” ujar peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas, Nurul Izmi dan Kezia Khatwani dalam keterangan tertulisnya.
Putusan Schrems II oleh Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU) yang dijatuhkan pada tahun 2020 telah membatalkan kerangka EU-US Privacy Shield yang menimbulkan dampak substansial terhadap rezim pelindungan data pribadi warga negara Uni Eropa (UE). EU-US Privacy Shield adalah sebuah mekanisme yang sebelumnya digunakan untuk mentransfer data pribadi antara UE dan AS.
Keputusan ini dipicu oleh gugatan yang diajukan oleh aktivis privasi asal Austria, Maximilian Schrems, terhadap perusahaan Facebook atas dugaan ketidakpatuhan terhadap regulasi pelindungan data UE. Schrems menyatakan bahwa pemindahan datanya ke server di wilayah AS membuka potensi akses oleh badan intelijen AS, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pelindungan data dalam hukum Uni Eropa.
Reporter : Dwi Maysaroh